Tebuireng: Dari Dusun Hitam ke Cahaya Pendidikan Islam

Pendahuluan
Tebuireng—sering dieja Tebu Ireng—adalah nama sebuah pedukuhan di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Lebih dari sekadar nama tempat, Tebuireng telah menjelma menjadi simbol transformasi sosial, spiritual, dan pendidikan yang diawali sejak akhir abad ke-19. Artikel ini akan membahas sejarah, tradisi pendidikan, karakter pendidikan multikultural, dan perkembangan modern dari Pesantren Tebuireng, semua ditulis dengan narasi yang mengalir dan penuh wawasan.
1. Asal-usul Nama dan Latar Sosial Tebuireng
sendiri berasal dari kisah lokal tentang “kebo ireng” (kerbau hitam). Konon suatu hari seekor kerbau kuning terperosok ke rawa, dikerubuti lintah hingga kulitnya berubah hitam. Sejak saat itu dusun itu dikenal sebagai Kebo Ireng, lalu berkembang menjadi Tebuireng
Sebelum hadirnya pesantren, dusun ini dikenal sarat maksiat: perjudian, perampokan, dan pelacuran merajalela. Kehidupan masyarakat setempat demikian kumuh hingga dibenahi sebagian besar oleh dakwah dan keberanian seorang pendiri pesantren, KH. Hasyim Asy’ari.
Sikap dan metode dakwah beliau—yang masuk dengan penuh kebijaksanaan, bukan kekerasan—perlahan menumbuhkan moral baru. Dalam beberapa bulan saja, 28 santri sudah belajar langsung dari beliau, memperlihatkan daya tarik spiritual yang kuat dari pesantren kecil itu
2. Sejarah Berdiri: Tahap Awal Hingga Pesantren

Pada tanggal 26 Rabi’ul Awal 1317 H, tepatnya 3 Agustus 1899 M, KH. Hasyim Asy’ari membeli sebuah bangunan bambu berukuran sekitar 6×8 meter. Ruangannya dibagi dua: bagian depan sebagai mushala untuk pengajian, bagian belakang sebagai tempat tinggal beliau bersama Nyai Khodijah
Santri awal jumlahnya hanya delapan orang, tetapi dalam waktu singkat berkembang menjadi puluhan. Tidak mudah: pada awalnya mereka mendapat gangguan fisik dari warga yang menolak kehadiran pesantren. Bahkan santri harus bergiliran menjaga agar aman tidur tanpa terancam senjata tajam. Untuk mengatasi gangguan ini, Kiai Hasyim mengirim santrinya ke Cirebon untuk belajar silat dari lima kyai terkenal selama delapan bulan. Setelah itu, para santri menjadi lebih percaya diri dan pesantrennya semakin dihormati.
3. Perkembangan Pendidikan: dari Sorogan ke Pendidikan Modern
Sistem pengajian awalnya sangat tradisional: sorogan (pengajaran satu‑satu), bandongan (kuliah umum), serta pengajian kitab kuning. Ini terus dipertahankan bahkan setelah munculnya pendidikan formal.
Pada tahun 1919 sistem madrasah klasikal diperkenalkan. Kemudian pendirian Madrasah Nidzamiyah pada 1933 menandai masuknya kelas pengetahuan umum (matematika, sains, bahasa) ke dalam kurikulum Tebuireng.
Memasuki akhir abad ke-20, pesantren ini menambah unit pendidikan formal: MTs, MA, SMP, SMA, bahkan universitas (Universitas Hasyim Asy’ari / UNHASY, kini IKAHA). Ditambah pula Ma’had Aly, madrasah mu’allimin/mu’allimat, dan madrasah diniyah sebagai pendukung pondok salaf sekaligus modern.
Selain pendidikan formal, juga menyediakan unit pendukung pelayanan masyarakat: klinik, koperasi, penerbitan, perpustakaan, serta kegiatan ekstra seperti jurnalistik, komputer, marching band, bela diri, dan sebagainya.
4. Nilai Pendidikan dan Karakter Multikultural Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng sangat menekankan pendidikan karakter berdasar Ahlussunah wal Jamaah. Ini terbukti dalam kurikulum kitab Adab al‑Alim wal Muta’allim, sikap tawadhu (rendah hati), serta kebiasaan menghormati tamu dari latar belakang berbeda.
Pendidikan multikultural juga diterapkan melalui budaya antre (antri) dalam berbagai kegiatan, sikap sopan terhadap non-Muslim yang menjadi tamu, serta organisasi internal seperti ORDA (Organisasi Santri Daerah) untuk memupuk kerjasama lintas suku dan latar sosial.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak hanya menumbuhkan ilmu agama, tapi juga membentuk sikap sosial inklusif dan toleran. Pendekatannya tidak eksklusif, melainkan terbuka bagi kekayaan masyarakat Indonesia yang plural.
5. Sumbangsih Tebuireng bagi Islam dan Bangsa
Sejak kelahiran, Tebuireng telah menjadi pusat pemikiran Islam tradisional dan reformis. KH. Hasyim Asy’ari sendiri adalah pendiri Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia
Banyak tokoh nasional besar lahir dari pesantren ini, termasuk:
- K.H. Wahid Hasyim (Menteri Agama)
- K.H. Abdurrahman Wahid (Presiden ke‑4 RI)
- K.H. Ma’ruf Amin (Wapres ke‑12 RI)
- KH. Maimoen Zubair, Sahal Mahfudz, Ahmad Mustofa Bisri, Ali Yafie, dan sederet ulama lainnya.
Tidak hanya memahami agama, para lulusan Tebuireng juga aktif di masyarakat, pusat dakwah, kultur santri, dan berbagai aktivitas literasi dan sosial.
6. Literasi Digital & Transformasi ke Era Modern
Baru‑baru ini, Tebuireng mulai mengintegrasikan teknologi dalam budaya literasinya. Penelitian tahun 2025 menunjukkan implementasi perpustakaan digital sebagai bagian dari transformasi literasi. Ini mendorong minat baca santri, Tebuireng akses sumber ilmu yang lebih luas, dan integrasi teknologi dalam pengkajian kitab kuning—dengan tantangan infrastruktur dan pelatihan digital yang sedang diatasi secara bertahap melalui sosialisasi dan kerja sama eksternal
7. Tebuireng Kini: Ukuran, Cabang, dan Cita-cita
Hingga 2022, Pesantren Tebuireng telah berusia lebih dari 123 tahun. Jumlah santri mencapai sekitar 5.000 orang, didukung oleh 9 cabang di berbagai daerah termasuk Jakarta, Riau, Sulawesi, hingga Bengkulu
Struktur pendidikannya sangat beragam: SD Islam Tebuireng, SMP/SMA Wahid Hasyim, SMA Trensains, MTs Sains Putri Salahuddin Wahid, SMK Khoiriyah, hingga perguruan tinggi seperti Ma’had Aly dan UNHASY/IKAHA
Pendekatan Tebuireng saat ini adalah gabungan antara pesantren salaf (tradisional) dan pendidikan modern, menjadikannya pusat pendidikan Islam yang adaptif terhadap zaman tanpa kehilangan akar spiritualnya.
Kesimpulan
Pesantren Tebuireng adalah kisah tentang transformasi sosial yang luar biasa: dari dusun penuh maksiat menjadi pusat pengajaran Islam terkemuka. Berdiri di atas nilai moral, karakter inklusif, dan keseimbangan antara tradisi dan modernitas, Tebuireng telah melahirkan banyak pemimpin umat dan bangsa. Kini, dengan adopsi digital dan hampir enam dekade lebih matur, Tebuireng terus bergerak maju sembari tetap setia pada warisan spiritualnya.